Inflasi di Indonesia diumpamakan seperti penyakit endemis dan berakar di sejarah. Tingkat inflasi di Malaysia dan Thailand senantiasa lebih rendah. Inflasi di Indonesia tinggi sekali di zaman Presiden Soekarno, karena kebijakan fiskal dan moneter sama sekali tidak prudent (“kalau perlu uang, cetak saja”). Di zaman Soeharto, pemerintah berusaha menekan inflasi - akan tetapi tidak bisa di bawah 10 persen setahun rata-rata, antara lain oleh karena Bank Indonesia masih punya misi ganda, antara lain sebagai agent of development, yang bisa mengucurkan kredit likuiditas tanpa batas. Baru di zaman reformasi, mulai di zaman Presiden Habibie maka fungsi Bank Indonesia mengutamakan penjagaan nilai rupiah. Tetapi karena sejarah dan karena inflationary expectations masyarakat (yang bertolak ke belakang, artinya bercermin kepada sejarah) maka “inflasi inti” masih lebih besar daripada 5 persen setahun.[1]
Tanda-tanda perekonomian mulai mengalami penurunan adalah ditahun 1997 dimana pada masa itulah awal terjadinya krisis. Saat itu pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berkisar pada level 4,7 persen, sangat rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang 7,8 persen. Kondisi keamanan yang belum kondusif akan sangat memengaruhi iklim investasi di Indonesia. Mungkin hal itulah yang terus diperhatikan oleh pemerintah. Hal ini sangat berhubungan dengan aktivitas kegiatan ekonomi yang berdampak pada penerimaan negara serta pertumbuhan ekonominya. Adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan akan menjanjikan harapan bagi perbaikan kondisi ekonomi dimasa mendatang. Bagi Indonesia, dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi maka harapan meningkatnya pendapatan nasional (GNP), pendapatan persaingan kapita akan semakin meningkat, tingkat inflasi dapat ditekan, suku bunga akan berada pada tingkat wajar dan semakin bergairahnya modal bagi dalam negeri maupun luar negeri.
Namun semua itu bisa terwujud apabila kondisi keamanan dalam negeri benar-benar telah kondusif. Kebijakan pemerintah saat ini di dalam pemberantasan terorisme, serta pemberantasan korupsi sangat turut membantu bagi pemulihan perekonomian. Pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator makro ekonomi menggambarkan kinerja perekonomian suatu negara akan menjadi prioritas utama bila ingin menunjukkan kepada pihak lain bahwa aktivitas ekonomi sedang berlangsung dengan baik pada negaranya. [a klik http://www.ainisastra.com/2011/05/makalah-tentang-inflasi-dan.html]
1. perkembangan sistem ekonomi sebelum orde baru
sejak berdirinya Negara Republik Indonesia, banyak sudah tokoh – tokoh neagara pada saat itu telah merumuskan bentuk perekonomian yang tepat bagi bangsa indonesia, baik secara individu maupun melalui diskusi kelompok.
Sebagai contoh, Bung Hatta sendiri, semasa hidupnya mencetuskan ide, bahwa dasar perekonomian indonesia yang sesuai dengan cita – cita tolong menolong adalah koperasi (Moh. Hatta dalam Sri – Edi Swaono, 1985 ), namun bukan berarti semua kegiatan ekonomi harus dilakukan secara koperasi, pemaksaan terhadap bentuk ini justru telah melanggar dasar ekonomi koperasi.
Demikian juga dengan tokoh ekonomi indonesia saat itu, Sumitro Djojohadikusumo, dalam pidatonya di Negara Amerika tahun 1949, menegaskan bahwa yang di cita – citakan adalah ekonomi semacam campuran. Namun demikian dalam proses perkembangan berikutnya disepakatilah suatu bentuk ekonomi baru yang di namakan sebagai sistem Ekonomi Pancasila yang di dalamnya mengandung unsur penting yang disebut Demokrasi Ekonomi.
Terlepas dari sejarah yang akan menceritakan keadaan yang sesungguhnya pernah terjadi di indonesia, maka menurut UUD’45, sistem perekonomian tercermin dalam pasal – pasal 23. 27, 33, dan 34.
Demokrasi ekonomi dipilih, karena memiliki ciri –ciri positif yang di antaranya adalah (Suroso, 1993):
• perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan
• cabang – cabang produks yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak di kuasai oleh negara
• bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran negara
• sumber – sumber kekayaan dan keuangan negara digunakan dengan permufakatan lembaga – lembaga perwakilan rakyat serta pengawasan terhadap kebijaksanaannya ada pada lembaga – lembaga perwakilan pula
• warga negara memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan yang dikehendaki mempunyai hak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak
• hak milik perorangan diakui dan pemanfaatannya tidak boleh pertentangan dengan kepentingan masyarakat
• potensi inisiatif dan daya kreasi setiap warga negara dikembangkan sepenuhnya dalam batas – batas yang tidak merugikan kepentingan umum fakir miskin dan anak – anak yang terlantar di pelihara oleh negara.
Dengan demkian di dalam perekonomian indonesia tidk mengijinkan adanya : Free Fiht Uberalism, yakni adanya kebebasan usaha yang tidk terkendaliØ sehingga memungkinkan terjadinya eksploitasi kaum ekonomi yang lemah, dengan akibat semakin bertambah luasnya jurang pemisah si kaya dan si miskin. Etalisme, yakni keikutsertaan pemerintah yang terlalu dominan sehinggaØ mematikan motifasi dan kreasi dari masyarakat untuk berkembang dan bersaing secara sehat. Monopoli, suatu bentuk pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompokØ tertentu, sehingga tidak memberikan pilihan lain pada konsumen untuk tidak mengikuti keinginan sang monopoli.
Meskipun pada awal perkembangannya perekonomian indonesia menganutsistem ekonomi pancasila. Ekonomi Demokrasi dan mungkin campuran namun bukan berarti sistem perekonomian Liberalis dan Etatisme tidak pernah terjadi di indonesia. Awal tahun 1950 – an sampai dengan tahun 1957 – an merupakan bukti sejarah adanya corak Liberalis dalam perekonomian indonesia. Demikian juga dengan sistem Etatisme pernah juga mewarnai corak perekonomian ditahun 1960 – an sampai dengan masa orde baru.
Keadaan ekonomi indonesia antara tahun 1950 sampai dengan tahun 1965 – an sebenarnya telah diisi dengan beberapa program dan rencana eko pemerintah.
Diantara program – program tersebut adalah : Program banteng tahun 1950, yng bertujuan membantu pengusaha pribumi.ü Program sumitro plan tahun 1951.ü Rencana lima tahun pertama, tahun 1955 – 1960.ü Rencana delapan tahun.ü
Namun demikian ke semua program dan rencana tersebut tidak menberikan hasil yang berarti bagi perekonomian indonesia.
Beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan adalah : Program – program tersebut disusun oleh tokoh – tokoh yang relatifv bukan bidangnya, namun oleh tokoh politik, dengan demikian keputusan – keputusan yang dibuat cenderung menitik beratkan pada masalah politik dan bukannya masalah ekonomi. Akibat lanjut dari keadaan diatas, dana negara yang seharusnyav dialokasikan untuk kepentingan kegiatan ekonomi, justru dialokasikan untuk kepentingan politik dan perang. Faktor berikutnya adalah, terlalu pendeknya masa kerja setiap kabinetv yang dibentuk (sistem parlementer saat itu). Tercatat tidak kurang dari 13 kali kabinet berganti saat itu. Akibatnya program – program dan rencana ekonomi yang telah disusun masing – masing kabinet tidak dapat dijalankan dengan tuntas, kalau idak ingin disebut tidak sempat berjalan. Disamping itu program dan rencana yang diusun kurang memperhatikanv potensi dan aspirasi dari berbagai pihak. Disamping keputusan individu/pribadi dan partai lebih dominan dari pada kepentingan pemerintah dan negara. Adanya kecenderungan terpengaruh untuk menggunakan sistem perekonomianv yang tidk sesuai dengan kondisi masyarakat indonesia (Liberalis, 1950 – 1957 dan Etatisme 1958 – 1965).
Akibat yang ditimbulkan dari sistem Etatime yang pernah terjadi di indonesia pda periode tersebut apat dilihat pada bukti – bukti berikut :
• Semakin rusaknya sarana – sarana produksi dan komunikasi yang membawa dampak menurunnya nilai eksport kita.
• Hutang luar negeri yang justru dipergunakan untuk proyek “mercu suar”.
• Devisit anggaran negara yang semakin besar dan justru ditutup dengan mencetak uang baru, sehingga inflasi yang tinggi tidak dapat dicegah kembali.
• Keadaan tersebut masih diperparah dengan laju pertumbuhan penduduk 2,8% yang lebih besar dari laju pertumbuhan ekonomi saat itu, yakni sebesar 2,2%. 2. Perkembangan sistem ekonomi indonesia setelah orde baru.
Iklim kebangsaan setelah orde baru menunjukkan suatu kondisi yang sangat mendukung untuk memulai dilaksanakannya sistem ekonomi yang sesungguhnya di inginkan rakyat indonesia setelah melalui masa – masa penuh tantangan pada periode 1945 – 1965 semua tokoh – tokoh negara yang duduk dalam pemerintahan sebagai wakil rakyat sepakat untuk kembali menempatkan sistem ekonomi kita pada nilai – nilai yang telah tersirat dalam UUD 1945. Dengan demikian sistem demokrasi ekonomi dan sistem ekonomi pancasila kembali satu – satunya acuan bagi pelaksanaan semua kegiatan ekonomi selanjutnya.
Awal orde baru diwarnai dengan masa – masa rehabilitasi, perbaikan hampir diseluruh sektor kehidupan tidak terkecuali sektor ekonomi. Rehabilitasi ini terutama ditujukan untuk :
• Membersihkan segala aspek kehidupan dari sisa – sisa faham dan sistem perekonomian yang lama (Liberal / kapitalis dan etatisme / komunis).
• Menurunkan dan mengendalikan laju inflasi yang saat itu sangat tinggi, yang berakibat terhambatnya proses penyembuhan dan peningkatan kegiatan ekonomi secara umum.
Tercatat bahwa :
• Tingkat inflasi tahun 1966 sebesar 650 %
• Tingkat inflasi tahun 1967 sebesar 120 %
• Tingkat inflasi tahun 1968 sebesar 85%.
• Tingkat inflasi tahun 1969 sebesar 9,9%
Dari data di atas, menjadi jelas, mengapa rencana pembangunan Lima Tahun Pertama (Repelita I) baru dimulai pada tahun 1969.
PARA PELAKU EKONOMI DI INDONESIA
Jika di dalam ilmu ekonomi mikro kita mengenal tiga pelaku ekonomi yaitu :
• Pemilik faktor produksi
• Konsumen
• Produsen
Dan jika dalam ilmu ekonomi makro kita mengenal empat pelaku ekonomi :
• Sektor rumah tangga
• Sektor swasta
• Sektor pemerintah dan
• Sektor luar negeri
Maka dalam perekonomian indonesia dikenal tiga pelaku ekonomi pokok sering disebut sebagai agen pemerintah dalam pembangunan ekonomi, yakni
Sesuai dengan konsep Trilogis Pembangunan (Pertumbuhan, pemerataan, dan kestabilan ekonomi), maka masing – masing pelaku tersebut memiliki prioritas fungsi sebagai berikut :
Koperasi : Pemerataan hasil ekonomi pertumbuhan kegiatan ekonomi kestabilan yang mendukung kegiatan ekonomi
Swasta : Pertumbuhan kegiatan ekonomi pemerataan hasil ekonomi kestabilan yang mendukung kegiatan ekonomi
Pemerintah BUMN : Kestabilan yang mendukung kegiatan ekonomi pemerataan hasil ekonomi pertumbuhan kegiatan ekonomi.
Elastisitas permintaan mengukur seberapa besar kepekaan perubahan jumlah permintaan barang terhadap perubahan harga. Ketika harga sebuah barang turun, jumlah permintaan terhadap barang tersebut biasanya naik —semakin rendah harganya, semakin banyak benda itu dibeli. Elastisitas permintaan ditunjukan dengan rasio persen perubahan jumlah permintaan dan persen perubahan harga. Ketika elastisitas permintaan suatu barang menunjukkan nilai lebih dari 1, maka permintaan terhadap barang tersebut dikatakan elastis di mana besarnya jumlah barang yang diminta sangat dipengaruhi oleh besar-kecilnya harga. Sementara itu, barang dengan nilai elastisitas kurang dari 1 disebut barang inelastis, yang berarti pengaruh besar-kecilnya harga terhadap jumlah-permintaan tidak terlalu besar. Sebagai contoh, jika harga sepeda motor turun 10% dan jumlah permintaan atas sepeda motor itu naik 20%, maka nilai elastisitas permintaannya adalah 2; dan barang tersebut dikelompokan sebagai barang elastis karena nilai elastisitasnya lebih dari 1. Perhatikan bahwa penurunan harga sebesar 1% menyebabkan peningkatan jumlah permintaan sebesar 2%, dengan demikian dapat dikatakan bahwa jumlah permintaan atas sepeda motor sangat dipengaruhi oleh besarnya harga yang ditawarkan.
koefesien
Elastisitas
n = 0
Inelastis sempurna
0 < n < 1
Inelastis
n = 1
Elastis uniter
1 < n < ∞
Elastis
n = ∞
Elastis sempurna
Untuk barang-barang normal, penurunan harga akan berakibat pada peningkatan jumlah permintaan. Permintaan terhadap sebuah barang dapat dikatakan inelastis bila jumlah barang yang diminta tidak dipengaruhi oleh perubahan harga. Barang dan jasa yang tidak memiliki subtitusi biasanya tergolong inelastis. Permintaan terhadap antibiotik, misalnya, dikatakan sebagai permintaan inelastis karena tidak ada barang lain yang dapat menggantikannya. Daripada mati terinfeksi bakteri, pasien biasanya lebih memilih untuk membeli obat ini berapapun biayanya. Sementara itu, semakin banyak sebuah barang memiliki barang subtitusi, semakin elastis barang tersebut.
meskipun permintaan inelastis sering diasosiasikan dengan barang "kebutuhan," banyak juga barang yang bersifat inelastis meskipun konsumen mungkin tidak "membutuhkannya." Permintaan terhadap garam, misalnya, menjadi permintaan inelastis bukan karena konsumen sangat membutuhkannya, melainkan karena harganya yang sangat murah.